Quantcast
Channel: Surau Inyiak » Ramadhan
Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

berawal dari al-manar

$
0
0

Tulisan ini terinspirasi dari postingan Dani Kurniawan berjudul Ramadhan Tahun Ini yang menceritakan tentang pengalamannya menjalankan puasa di masa kecilnya. Aku pun kemudian teringat dengan pengalaman beberapa tahun silam, di masa kecilku di kota kecil bernama Duri di Propinsi Riau. Dan, pengalaman itu memberi pengaruh besar terhadap pilihan hidup yang kujalani saat ini.

Rumah kami letaknya persis berseberangan dengan sebuah mushalla kecil. Al-Manar nama mushalla tersebut. Aku dan adik-adik belajar membaca al-Quran (mengaji) di mushalla itu saban sore hari. Sistemnya masih sangat tradisional. Ketika itu belum ada metode Iqro’, Qira’ati maupun Ummi seperti sekarang ini. Dan guru yang mengajar kami hanya satu. Pak Imam, begitu  kami memanggilnya.

Sebetulnya, mushalla tersebut bukanlah tempat pertama aku belajar mengaji. Sebelumnya aku sudah belajar mengaji juga di tempat lain. Tapi, karena kami pindah ke tempat tersebut,  maka aku pun pindah mengaji ke mushalla itu. Waktu itu aku sudah kelas 5 SD.

Oleh Pak Imam, aku dikelompokkan ke dalam kelompok seumuran, yakni yang sudah duduk di kelas 5 dan 6 SD yang jumlah hanya sekitar 10 orang saja. Karena kami semua adalah tetangga, tentu saja kami sangat akrab satu sama lain, sehingga belajar mengaji menjadi salah satu sarana bermain kami.

Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba Pak Imam memberi kami, kelompok kelas 5-6 SD, sebuah teks pembukaan pidato. Beliau meminta kami untuk menghafalnya. Selama beberapa hari kami menghafalkannya di rumah masing-masing. Setelah semua hafal, kami pun diminta untuk mendemonstrasikannya di depan kawan-kawan, satu persatu. Seru juga rasanya bisa berbicara di depan umum, meski baru sebatas pembukaan pidato.

Setelah semua hafal, beliau pun memberi tambahan teks yang isinya adalah kalimat-kalimat yang diucapkan kalau menjadi pembawa acara. Di sinilah kami baru diberitahu bahwa beliau ingin menjadikan kami sebagai pembawa acara dalam kegiatan shalat tarawih pada bulan Ramadhan yang akan datang tidak lama lagi.

Reaksi dari kami hampir seragam, yakni TAKUT..! :D

Bukan Pak Imam namanya kalau tidak berhasil mencuri hati kami. Dengan kesabaran dan kelembutan beliau, kami pun berhasil mengatasi rasa takut tersebut dan menggantinya dengan rasa percaya diri  untuk memberikan yang terbaik di saat Ramadhan nanti.

Akhirnya, Ramadhan yang dinanti pun tiba. Karena jumlah kami hanya 10 orang, maka masing-masing kami rata-rata mendapat giliran sebanyak 3 kali sebagai pembawa acara. Sungguh, itu adalah pengalaman yang sangat besar bagi anak seusia kami ketika itu.

Sensasi yang tak bisa kulupakan adalah di hari ketika aku mendapat giliran. Deg-degannya luar biasa. Kalau di hari-hari lain aku berharap Maghrib segera datang biar cepat berbuka, tapi kalau pas mendapat giliran menjadi pembawa acara, aku malah berharap supaya Maghrib-nya hari itu bisa lama datangnya.. :D

Tapi, kalau sudah selesai menunaikan tugas, leganya sungguh luar biasa, apalagi kalau dapat pujian dari para tetangga.  “Ondeh, yo lah bantuak ustadz bana paja ko” (wah, udah kayak ustadz beneran anak ini), kira-kira begitu pujiannya. Mendengar itu, melambung deh rasanya..

Kegiatan tersebut kemudian berlanjut di tahun berikutnya. Namun, kali ini ada tambahan, yakni kami tidak sekedar membawa acara, tapi menyelipkan ceramah singkat sebelum Ustadz penceramah kami persilahkan naik mimbar. Tentu saja itu semua semata hafalan dari teks yang diberikan Pak Imam kepada kami.

Dari pengalaman-pengalaman tersebut, aku merasakan ketertarikan pada pelajaran agama Islam. Terlebih Pak Imam di sela-sela mengajar, memberi kami pelajaran sejarah Islam, terutama para tokoh-tokoh hebat masa lalu. Keingintahuanku terhadap khazanah keilmuan Islam semakin besar jadinya. Maka, ketika Papa menawarkan untuk melanjutkan sekolah selepas SD ke pesantren, tanpa pikir panjang, aku pun mengiyakan.

Dari situlah perjalanan studiku dimulai hingga hari ini aku berprofesi sebagai dosen di perguruan tinggi agama Islam.

Sekarang Pak Imam sudah tiada. Beliau sudah tenang berada di haribaan Sang Maha Pencipta. Jasa beliau bagiku sangatlah luar biasa. Sampai kapan pun takkan pernah kulupakan, terutama pengalaman Ramadhan bersama beliau di tahun 1983-1985 yang lalu itu. Semoga Allah menempatkan beliau di surgaNya. Amin..

Dan sekarang… Mushalla kecil itu dulu telah berubah menjadi sebuah masjid besar, di sampingnya berdiri sebuah bangunan Madrasah Diniyah yang tentunya dijalankan secara profesional dengan guru-guru yang sangat berkompeten.

Masjid Al-Manar saat ini

Begitulah pengalaman Ramadhan masa kecilku dulu. Siapa sangka, pengalaman tersebut mempengaruhi pilihan masa depanku.

Apa yang kita alami saat ini, pada umumnya adalah buah dari apa yang kita lakukan di masa silam, bukan? Maka, mari berikan pengalaman penuh makna untuk generasi kita, siapa tahu, itu akan mempengaruhi pilihan masa depannya.. :)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 10